Kamis, 27 November 2008

SASTRA DAN MEDIA CETAK

Oleh : Sun’an *

Kebutuhan terhadap komunikasi dan informasi yang up to date dewasa ini telah melekat dalam peradaban kehidupan sosial masyarakat, mulai dari tingkatan terkecil: rumah tangga sampai dengan tingkatan terbesar: negara. Kebutuhan akan informasi yang dahulu hanya dapat dipenuhi melalui pembicaraan tatap muka orang per orang atau face to face sekarang cara mendapatkan informasi tidak harus melalui tatap muka, tetapi dapat melalui sarana teknologi; koran, radio, televisi, telepon, dan internet.
Tuntutan kebutuhan terhadap informasi dalam masyarakat sebagian telah dapat dipenuhi melalui sarana telematika. Melalui sarana telematika orang dengan mudah mendapatkan informasi dari belahan dunia mana pun secara cepat. Berita terbaru mengenai kejadian-kejadian penting dengan segera dapat dinikmati melalui cyber journalism (jurnalistik berinternet). Meskipun sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat, pemanfaatan jurnalistik berinternet masih kalah dengan media cetak khususnya surat kabar, majalah, dan jurnal-jurnal karena berbiaya murah serta mudah didapatkan.
Era demokrasi yang telah bergulir di Indonesia sejak tahun 1998 sampai sekarang belum dapat mengantarkan sastra di menara gading. Namun dunia sastra yang minim perhatian atau kurang diperhitungkan oleh masyarakat pembaca, dewasa ini telah banyak menghiasi kolom-kolom koran daerah maupun koran nasional. Pada masa sebelum proklamasi Indonesi diikrarkan terlihat adanya semangat revolusi di dalam kesastraan dan kesenian negeri ini, selain dalam politik. Surat-surat kabar dan majalah republik bermunculan di banyak daerah, terutama di Jakarta, Yogyakarta, dan Surakarta. Seiring dengan itu lahirlah suatu generasi sastrawan dinamakan ‘Angkatan 45’, dengan orang-orang yang daya kreatifnya memuncak pada zaman revolusi. Kenyataan sastra telah mampu menyemangati perjuangan revolusi pada zamannya merupakan bukti bahwa sastra bermanfaat dan dapat dinikmati. Menurut pandangan penulis, pada saat ini sastra belum kembali pada rohnya, hal itu terlihat pada apresiasi masyarakat dalam memosisikan sastra sebagai sajian keseharian yang layak dalam kehidupan.
Di era tahun 1945 karya sastra anak bangsa yang dimuat dalam koran mampu mengobarkan semangat juang revolusi nasional dan memopulerkan maestro sastra di Indonesia. Banyak karya-karya Chairil Anwar dimuat dalam majalah era 1945 seperti Pantja Raja, Zenith, Pembangoenan, Siasat, Internasional, Pemandangan, dan Berita. Bahkan banyak karya Pramoedya Ananta Toer: Kranji-Kranji Jatah, Keluarga Gerilya dikerjakan dalam penjara Belanda Bukit Duri akhirnya dipopulerkan juga oleh koran the Voice of Free Indonesia di Jakarta tahun 1947. Hal itu telah membuktikan bahwa perjuangan bangsa ini tidak terlepas dari peran karya sastra sebagai corong perjuangan bangsa ini.
Tidak dapat dibantah lagi bahwa surat kabar berperan dalam memasyarakatkan sastra secara umum. Darmanto Jatman (1998) menceritakan di negeri Cina, tokoh sastra Lim Kim Hok dianggap sebagai orang yang berjasa menaikkan derajat bahasa Melayu Tionghoa menjadi bahasa sastra karena kesastraan Melayu Tionghoa di awal abad ke-20 semula dianggap hanya karya bahasa murahan akhirnya melalui media masa koran pada waktu itu menjadi karya bahasa terhormat.
Fungsi utama sebagai penyampai berita (message) aktual, surat kabar juga berfungsi memberikan informasi tentang perkembangan budaya, teknologi, pendidikan, politik, dan termasuk di dalamnya perkembangan sastra sebagai hasil budaya. Dalam surat kabar, cara pandang sastrawan terhadap situasi ditampilkan dalam format lain tidak selalu sama dengan cara pandang seorang politikus, agamawan, budayawan, dan bahkan penguasa. Hal itulah yang mungkin menjadikan sastra sebagai produk yang unik dan bahkan menjadikannya terasing dari tangan penikmat.
Begitu penting kehadiran sastra dalam masyarakat, mengharuskan perlunya membangun komitmen dasar tentang kesastraan. Untuk menjalin komunikasi antara masyarakat, karya sastra, dan sastrawan banyak cara yang bisa ditempuh. Tanggung jawab untuk memasyarakatkan sastra sebenarnya tidak hanya tertumpu di pihak pemerintah, tetapi media cetak, dan masyarakat juga harus berperan untuk melestarikannya. Yuwana Sudikan (2003) mengatakan bahwa melalui pemerintah, sekolah, masyarakat, dan sastrawan bersinergi membangun atmosfer sastra di negeri ini. Sehingga tujuan ideal yang mungkin dapat dicapai, ke depan karya sastra dapat disejajarkan dengan karya iptek, karena menurut Menteri Komunikasi Daoed Joesoef (Media Indonesia,11/03/2007), karya sastra berpotensi melahirkan pesan-pesan kultural dari kebekuan rutinitas sehari-hari. Lewat sastra, budaya dari setiap individu juga akan terbangun secara mantap.
Peran media cetak dalam memasyarakatkan sastra, dengan format sajian liputan cerpen, puisi, dan esai sastra ternyata berpengaruh terhadap pertumbuhan komunitas-komunitas sastra di masyarakat. Karena peranannya terutama di masa perjuangan mampu mengobarkan semangat juang dan mengenalkan para tokoh sastrawan di republik ini, maka media cetak pantas mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Karya sastra melalui media cetak semoga masih tetap diminati oleh sebagian banyak orang serta sastra tidak menjadi terkungkung dalam dunianya sendiri. Semoga.


* Penulis adalah penikmat sastra tinggal Lampung

Tidak ada komentar: