Kamis, 27 November 2008

TITIK NADIR KEGELISAHAN BAHASA LAMPUNG

Oleh: Sun’an Yohantho*

Say bumi ruwa jurai. Ungkapan ini sering menggelitik saya ketika pertama saya menginjakkan kaki di bumi Lampung. Sebagai pendatang, saya punya persepsi bahwa saya akan menemukan bahasa ibu yang digunakan masyarakat Lampung sebagai alat komunikasi dalam keseharian. Akan tetapi malah sebaliknya, mendengar masyarakat berdialog dengan beraksen Betawi. Akhirnya, saya tidak langsung memfonis bahwa masyarakat Lampung tidak mempunyai kebanggaan ‘rasa memiliki bahasa daerah’ yang tinggi. Mungkin, hal ini di sebabkan oleh letak geografis Lampung yang lebih dekat dengan Jakarta, kota metropolitan. Mungkin saja, kemetropolisan Jakarta dipandang serba modern sehingga dianggap paling layak hadir untuk menjadi acuan. Itu baru asumsi saya saja. Apa yang menarik dari Lampung? Tentu orang akan tertarik pada hal-hal yang sifatnya nyata tidak abstrak seperti; jumlah penduduk, luas wilayah, hasil bumi, tempat wisata, satwa gajah, dan rumah adatnya. Dominasi daya tarik suatu daerah selama ini lebih mengarah kepada kepentingan ekonomi dibandingkan dengan kepentingan sosio-budaya. Memang ekonomi penting tetapi kepentingan itu tidak selalu harus menganaktirikan kepentingan diluar ekonomi. Karena unsur pendukung bangunan sebuah komunitas wilayah daerah(etnis kelompok/masyarakat) menurut saya harus menonjolkan kecirian budaya termasuk bahasa. Hal itu tentunya harus dibarengi dengan keseriusan terhadap pembangunan budaya yang tidak setengah hati.
Permasalahan sampai saat ini belum banyak hasil penelitian yang berani mengungkapkan jumlah penutur bahasa Lampung melalui sebuah pemetaan. Dari pemetaan bahasa dapat diketahui peta bahasa yang dipakai di suatu daerah. Minimnya hasil penelitian tentang tingkat tutur dan jumlah penutur bahasa Lampung menyebabkan situasi wacana kebahasaan di Lampung tidak berkembang. Melalui penelitian dapat mengetahui gambaran perbandingan jumlah penutur bahasa-bahasa yang dipakai penduduk di wilayah Lampung. Realitas penutur di lapangan kadang perlu diwujudkan dalam sebuah data sebagai tolok ukur sampai sejauh mana kuantitas penuturnya. Bahkan kajian keilmuan mengenai sastra lokal yang dibarengi dengan kajian filologis yang berkaitan dengan naskah kuna baik lisan maupun tulis belum banyak yang diterbitkan. Upaya itu tidak boleh berhenti pada tindakan menyajikan data saja harus dibarengi juga dengan tindakan ekstrem membandingkan dengan jumlah penduduknya. Sehingga dapat menepis pandangan berbagai kalangan yang banyak mengklaim bahwa dimasa mendatang bahasa Lampung akan punah. Pada ujungnya wacana yang berkembang tidak menciptakan perbalahan yang akhirnya menuju kegelisahan di masyarakat.
Disamping melalui sebuah penelitian, tanggung jawab pelestarian bahasa Lampung agar dapat lestari membutuhkan tindakan nyata dari berbagai pihak. Pemerintah Provinsi Lampung sudah memulai dengan menerbitkan peraturan daerah mengenai kebahasaan Lampung. Dunia pendidikan juga ikut bertanggung jawab secara moral keilmuan. Acuan pendidikan tingkat dasar sudah menerapkan muatan lokalnya. Jenjang pendidikan tinggi dengan membuka program studi bahasa Lampung tingkat diploma (D-3) telah dilakukan oleh UNILA sejak tahun akademik 1989—1999. Alangkah lebih baik fakultas sastra budaya ilmu murni tingkat strata satu harus segera diwujudkan. Wacana jenjang pendidikan tinggi yang kesemuanya untuk menciptakan tenaga pengajar, tenaga-tenaga ahli dalam sastra, bahasa, dan filologi bahasa Lampung harus didukung terus. Semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dikala keprihatinan tentang eksistensi bahasa Lampung mencuat, saya sempat terusik oleh salah satu pemberitaan koran Lampung Post Sabtu, 14 Juli 2007 mengenai keputusan FKIP UNILA untuk menghentikan sementara program studi D-3 bahasa Lampung. Setidaknya lembaga pendidikan milik pemerintah yang pembiayaan hidupnya dari dana rakyat tidak mengambil tindakan seperti itu. Hanya dengan alasan yang sangat klise karena lulusannya kurang diperhatikan pemerintah provinsi. Apa semua lulusannya harus jadi PNS? Kalau itu yang menjadi kendala utama, Lampung akan tertinggal banyak langkah dengan daerah lain. Lembaga yang seharusnya meningkatkan jenjang pendidikan untuk menunjang perkembangan keilmuan akhirnya patah semangat mupus dalam idealisme zaman.
Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan itu mungkin dapat sebagai pertimbangan untuk memulai tindakan dari sekarang. Lebih banyak frekuensi pengenalan penggunaan bahasa Lampung dalam keseharian, seperti agenda-agenda formal dan nonformal mungkin dapat dikatakan sebagai sebuah langkah maju. Hal itu telah dilakukan oleh beberapa pihak seperti: agenda RRI, TVRI, Kantor Bahasa Provinsi Lampung dengan program pemetaan bahasanya tahun 2006, dan Dinas Pendidikan Provinsi Lampung dengan rencana menerbitkan majalah berbahasa Lampung. Banyak tulisan dari berbagai kalangan dimuat dalam surat kabar daerah Lampung yang membahas nasib bahasa Lampung. Tulisan mereka tidak hanya sekedar mengomentari, tentunya kesemuanya karena peduli, empati, dan boleh dikata sangat cinta terhadap Lampung. Wacana yang akhirnya memunculkan polemik mengenai bahasa Lampung dari sekarang sampai di tahun-tahun mendatang harus tetap digalakkan guna koreksi kemajuann dirinya.
Banyak yang khawatir terhadap keberlangsungan hidup bahasa Lampung sebagai sebuah budaya, cemas, gelisah, bahkan menemui jalan buntu untuk mempertahankan eksistensinya. Perilaku menyalahkan, antipati atau membendung bahkan menolak terhadap kemajuan peradapan diluar itu tidak perlu. Kita lebih perlu bertindak action membangun konstruksi dari sudut pandang internal. Tawaran antara budaya dan ekonomi memang sering memberikan arah pilihan ke hal yang lebih menjanjikan serta langsung dapat dinikmati. Kecenderungan untuk memajukan budaya dirasa kurang banyak menguntungkan dari finansial. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dengan idealisme tinggi tentang kelampungan.
Daya dukung kelanggengan sebuah bangunan budaya termasuk di dalamnya bahasa agar tetap lestari ternyata membutuhkan kemauan dari berbagai pihak dengan menyatukan banyak unsur. Kita harus bisa berbudi dan berdaya guna membangun dari dalam tentang kemauan unutuk memajukkan dan menyemangati lestarinya sebuah masyarakat berbudaya. Sehingga masyarakat Lampung dapat dikatakan masyarakat yang berdaya yang tidak perlu/butuh lagi untuk diberdayakan dalam kompleks bahasa. Paling tidak kalau ditanya bagaimana kondisi bahasa Lampung saat ini dan akan datang? Tentu jawabannya wawai-wawai saja.
Muhammad Yamin sang nasionalis kita pernah berujar”tiada bahasa hilanglah bangsa”, makna apa yang terkandung didalamnya? Dasar itulah yang menjadikan bahasa Indonesia sekarang ini masih tetap kokoh berdiri eksis dalam rumahnya. Kondisi bahasa Lampung seharusnya tidak akan jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, meski banyak tantangan dan hambatan dalam perkembangannya. Lampung sebagai sebuah konstruksi daerah provinsi sudah lengkap, hanya membutuhkan identitas lokal untuk dapat disebut sebagai sebuah bangunan yang lengkap. Lampung punya aksara, punya bahasa, bahkan memiliki aksen Nyo dan Api sebagai varian kelokalan.



*Penulis adalah pemerhati bahasa
yang tinggal di Bandarlampung

Tidak ada komentar: